Aku tidak sependapat bahkan menurutku itu hal yang sangat keliru. Apanya yang keliru?Ya, salah satu budaya Indonesia. Indonesia dikenal sebagai rakyat yang ramah dan pemaaf terlebih bila terlambat. Namun aku yakin hal itu budaya memaafkan yang seperti itu tidak akan berlaku bila dipraktekkan di dunia kerja yang formal. Dalam hal janji pun begitu. Bila sudah berjanji, kita kerap menggunakan kata 'In Sya Allah' tapi rata-rata pengkhianat. Aku kecewa sekali. Dia sudah menyebut nama Tuhan tapi berkhianat. Tampak sekali kalau dia tidak niat menepati janji yang sudah ditetapkan sejak awal. Namun, ada orang jepang yang tidak perlu ku sebutkan namanya justru itu letak 'manusia' kita sebagai manusia. Ya, budaya memaafkan memang baik terlebih itu sudah membudaya pada diri kita. Tapi maaf bila dilakukan berulang-ulang, apakah itu bisa untuk dimaafkan. Tak usah berbohong pada hati. Mulut kita memang bilang 'tidak apa-apa' tapi hati kita?Siapa yang tahu. Banyak yang tidak rela setelah diadakan diskusi di kampus. Jadi mengatakan 'maaf' begitu saja ku rasa itu bukanlah sikap yang bijak. Minta maaf sekali, lalu berjanji pada diri sendiri bahwa kita tidak akan mengulanginya lagi.
Dalam hal terlambat juga begitu. Selalu bilang, maaf maaf dan maaf bila terlambat. Dan alasannya klise. Memang, akhir-akhir ini menemukan pribadiku yang buruk. Aku benci diriku yang sekarang yang tidak seperti dulu yang disiplin dan sangat menghargai waktu. Dan atas terjadinya insiden dan kejaian-kejadian yang ku alami, aku sempat drop hingga aku tidak bisa menentukan hidupku hingga aku tidak bisa disiplin lagi. Dan tiba saatnya aku mendapat dosen yang disiplin, aku jadi bisa datang lebih awal walau awalnya ngedumel di dalam hati. Aku bisa merasakan rasanya jadi mereka yang tidak disiplin. Sekarang aku harus kembali menjadi disiplin lagi, menjadi diriku. Dan aku siap menerima risiko bila aku harus dihukum andai keterlambatan ku lakukan. Itu risiko. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dan seharusnya berterima kasih pada dosen itu bukan malah mencelanya. Karena didikannya yang cenderung pada kedisiplinannya. Jadi, ku rasa memaafkan karena terlambat ku rasa tidak bisa ditolerir bila terjadi dua kali. Kita harus latihan di negeri sendiri bila ingin mencicipi angin di negeri orang. Terserah orang bilang apa, nasib ada di tangan kita dan bukan di tangan mereka. Bila ingin menjadi pribadi yang baik, hargai waktu dan tempatkan kata 'maaf' pada tempat yang seharusnya.
Dalam hal terlambat juga begitu. Selalu bilang, maaf maaf dan maaf bila terlambat. Dan alasannya klise. Memang, akhir-akhir ini menemukan pribadiku yang buruk. Aku benci diriku yang sekarang yang tidak seperti dulu yang disiplin dan sangat menghargai waktu. Dan atas terjadinya insiden dan kejaian-kejadian yang ku alami, aku sempat drop hingga aku tidak bisa menentukan hidupku hingga aku tidak bisa disiplin lagi. Dan tiba saatnya aku mendapat dosen yang disiplin, aku jadi bisa datang lebih awal walau awalnya ngedumel di dalam hati. Aku bisa merasakan rasanya jadi mereka yang tidak disiplin. Sekarang aku harus kembali menjadi disiplin lagi, menjadi diriku. Dan aku siap menerima risiko bila aku harus dihukum andai keterlambatan ku lakukan. Itu risiko. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dan seharusnya berterima kasih pada dosen itu bukan malah mencelanya. Karena didikannya yang cenderung pada kedisiplinannya. Jadi, ku rasa memaafkan karena terlambat ku rasa tidak bisa ditolerir bila terjadi dua kali. Kita harus latihan di negeri sendiri bila ingin mencicipi angin di negeri orang. Terserah orang bilang apa, nasib ada di tangan kita dan bukan di tangan mereka. Bila ingin menjadi pribadi yang baik, hargai waktu dan tempatkan kata 'maaf' pada tempat yang seharusnya.